Rabu, 03 Desember 2008

Candi Gambar Wetan

Candi Gambar Wetan terletak di kab Blitar-jawa timur. Candi Gambar Wetan terletak di 7km ke arah utara Candi Panataran. Sedangkan Panataran terletak 12 dari arah utara Kota Blitar. Tidak ada kendaraan umum yang secara khusus bisa mengangkut wisatawan langsung ke Candi Gambar Wetan. Yang ada hanyalah menumpang truk pasir ke arah penambangan pasir atau disebut juga dengan "laharan" di sebelah selatan perkebunan Candi Sewu.

Sebagian dari keseluruhan tanah di sekitar candi ini tanah berpasir. hal ini dapatlah dimaklumi karena letak candi ini adalah di sebelah sebelah selatan gunung kelud dan menjadi aliran lahar gunung kelud. Candi ini dapat ditempuh dengan menumpang truk pasir ke arah utara 7km. dan baru berjalan kaki ke arah candi dengan melewati areal perkebunan tebu (dahulu perkebunan kopi pada jaman belanda).

Candi ini tidak lah utuh. Hanyalah tinggal batur candi yang masih utuh dengan sebagian relief yang masih tersisa. Bagian lain dari komponen areal ini adalah 2 buah dwarapala yang menjaga di pinggir tangga masuk candi ini (candi berada diatas puncak bukit dengan melalui tangga yang dibuat dengan dwarapala yang menjaganya). Berdasarkan berbagai gaya yang ditemui dari sisa hiasannya, candi ini dibangun pada masa kerajaan Majapahit.

Candi Panataran

Candi Panataran adalah sebuah candi berlatar belakang Hindu (Siwaitis) yang terletak di Jawa Timur, tepatnya di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar. Kompleks candi ini merupakan yang terbesar di Jawa Timur. Candi ini mulai dibangun dari kerajaan Kadiri dan dipergunakan sampai dengan kerajaan Majapahit. Candi Penataran ini melambangkan penataan pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Timur.

Candi Penataran dipercaya adalah candi Palah yang disebut dalam prasasti Palah, dibangun pada tahun 1194 oleh Raja Crnga (Grenggra) yang bergelar Sri Maharaja Sri Sarweqwara Triwikramawataranindita Grengalancana Digwijayottungadewa yang memerintah kerajaan Kediri antara tahun 1190 – 1200, sebagai candi gunung untuk tempat upacara pemujaan agar dapat menetralisasi atau menghindar dari mara bahaya yang disebabkan oleh gunung Kelud yang sering meletus. Kitab Negarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca menceritakan perjalanan Raja Hayam Wuruk, yang memerintah kerajaan Majapahit antara tahun 1350 – 1389, ke candi Palah untuk melakukan pemujaan kepada Hyang Acalapati yang berwujud Girindra (raja penguasa gunung).

Kesamaan nama Girindra yang disebut pada kitab Negarakretagama dengan nama Ken Arok yang bergelar Girindra atau Girinatha menimbulkan dugaan bahwa candi Penataran adalah tempat pendharmaan (perabuan) Ken Arok, Girindra juga adalah nama salah satu wangsa yang diturunkan oleh Ken Arok selain wangsa Rajasa dan wangsa Warddhana. Sedangkan Hyang Acalapati adalah salah satu perwujudan dari Dewa Siwa, serupa dengan peneladanan (khodam) sifat-sifat Bathara Siwa yang konon dijalankan Ken Arok.

Seperti pada umumnya relief candi di Jawa Timur yang dipahat berdasarkan analogi romantika hidup tokoh yang didharmakan di tempat tersebut, relief Ramayana dengan tokoh Rama dan Shinta, dan relief Krisnayana dengan tokoh Krisna dan Rukmini, yang dipahatkan pada dinding candi Penataran dapat dikatakan mirip dengan kisah Ken Arok dan Ken Dedes. Ketokohan Ken Arok sendiri masih menjadi kontroversi antara karakter seorang bandit yang berambisi memperbaiki keturunan setelah mengerti arti cahaya yang terpancar dari gua garbha milik Ken Dedes yang dilihatnya dan kemudian membunuh Tunggul Ametung yang menjadi suami sang nareswari, dengan karakter seorang bangsawan yang mengemban amanat dari mpu Purwa yang merupakan ayahanda Ken Dedes sekaligus keturunan Raja Mpu Sindok untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Kanjuruhan yang ditaklukkan oleh kerajaan Kediri, dengan dukungan kalangan brahmana dari kedua kerajaan. Alkisah seluruh mpu dari kerajaan Kediri berpindah ke wilayah Tumapel sebelum Ken Arok membunuh Tunggul Ametung dan menjadi penyebab kekalahan Kediri dalam peperangan dengan Tumapel di wilayah Ganter pada tahun 1222. Dibunuhnya mpu Gandring yang tidak menyelesaikan keris pesanan Ken Arok pada waktunya konon juga berkaitan dengan para mpu yang mulai meninggalkan kerajaan Kediri sehingga menimbulkan kecurigaan Ken Arok bahwa Mpu Gandring berpihak pada Kediri. Keris tersebut kemudian diselesaikan oleh mpu yang lain dengan demikian indah sehingga menarik perhatian dan mudah dikenali ketika Kebo Ijo memamerkannya kepada semua orang, sebelum akhirnya keris tersebut digunakan Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung.

Kitab Negarakretagama menyebutkan bahwa Ken Arok dicandikan di daerah Kagenengan, yang dewasa ini masih tersisa sebagai nama desa di wilayah selatan kabupaten Malang, tepatnya di kecamatan Pakisaji. Belum dapat dipastikan apakah desa Kagenengan ini merupakan tempat yang sama yang disebut dalam kitab Negarakertagama, dan apakah luas daerah ini pada zaman itu meliputi wilayah kecamatan Nglegok tempat candi Penataran berada.

Candi Sumberawan

Candi Sumberawan hanya berupa sebuah stupa, berlokasi di Kecamatan Singosari, Malang. Dengan jarak sekitar 6 km dari Candi Singosari. Candi ini Merupakan peninggalan Kerajaan Singhasari dan digunakan oleh umat Buddha pada masa itu.

Candi Sumberawan terletak di desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, +/- 6 Km, di sebelah Barat Laut Candi Singosari, candi ini dibuat dari batu andesit dengan ukuran P. 6,25m L. 6,25m T. 5,23m dibangun pada ketinggian 650 mDPL, di kaki bukit Gunung Arjuna. Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang memberi nama Candi Rawan.

Candi Sumberawan pertama kali ditemukan pada tahun 1904. Pada tahun 1935 diadakan kunjungan oleh peneliti dari Dinas Purbakala. Pada Jaman Hindia Belanda pada tahun 1937 diadakan pemugaran pada bagian kaki candi, sedangkan sisanya direkonstruksi secara darurat. Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa yang ditemukan di Jawa Timur. Batur candi berdenah bujur sangkar, tidak memiliki tangga naik dan polos tidak berelief. Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang. Karena ada beberapa kesulitan dalam perencanaan kembali bagian teratas dari tubuh candi, maka terpaksa bagian tersebut tidak dipasang kembali. Diduga dulu pada puncaknya tidak dipasang atau dihias dengan payung atau chattra, karena sisa-sisanya tidak ditemukan sama sekali. Candi sumberawan tidak memiliki tangga naik ruangan di dalamnya yang biasanya digunakan untuk menyimpan benda suci. Jadi hanya bentuk luarnya saja. Jadi hanya bentuk luarnya saja yang menunjukkan bahwa bangunan tersebut adalah stupa. Apakah maksud didirikannya candi Sumberawan yang bentuknya stupa, tetapi fungsinya tidak seperti lazimnya stupa sesungguhnya? Kiranya candi ini dahulu memang didirikannya untuk pemujaan. Para ahli purbakala memperkirakan candi Sumberawan dulunya bernama Kasurangganan, sebuah nama yang terkenal dalam kitab Negarakertagama. Tempat tersebut telah dikunjungi Hayam Wuruk pada tahun 1359 masehi, sewaktu beliau mengadakan perjalanan keliling. Dari bentuk-bentuk yang tertulis pada bagian batur dan dagoba (stupanya) dapat diperkirakan bahwa bangunan candi Sumberawan didirikan sekitar abad 14 sampai 15 masehi yaitu pada periode Majapahit. Bentuk stupa pada candi Sumberawan ini menunjukkan latar belakang keagamaan yang bersifat Budhistis.

Candi Sanggariti

Candi Sanggariti adalah sebuah candi yang terletak di Kota Batu, Jawa Timur, Indonesia. Candi ini berada di dekat satu sumber air panas. Candi ini dibangun pada sekitar akhir abad ke-8 Masehi. Candi ini dipugar tahun 1936 oleh Belanda,tapi ada kesalahan letak dimana kepala di kaki dan sebaliknya dan ahkirnya menjadi puing.

 

Candi Singasari

Cara pembuatan candi Singasari ini dengan sistem menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun ke bawah. (Bukan seperti membangun rumah seperti saat ini).Candi ini berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, (sekitar 10km dari Kota Malang) terletak pada lembah di antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna di ketinggian 512m dari permukaan laut.

Berdasarkan penyebutannya pada Kitab Negarakertagama pupuh 37:7 dan 38:3 serta Prasasti Gajah Mada bertanggal 1351 Masehi di halaman komplek candi, candi ini merupakan tempat "pendharmaan" bagi raja Singasari terakhir, Sang Kertanegara, yang mangkat pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Mongol. Kuat dugaan, candi ini tidak pernah selesai dibangun.

Komplek percandian menempati areal 200m×400m dan terdiri dari beberapa candi. Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4m, disebut dwarapala) dan posisi Gada (Senjata ) menghadap kebawah, ini menunjukkan meskipun penjaganya raksasi "RAKSASA" tapi masih ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup dan ungkapan selamat datang bagi semuanya. Dan posisi arca ini hanya ada di Singhasari, tidak ada di tempat ataupun kerajaan lainnya. Dan di dekatnya arca Dwarapala terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan. Letak candi Singhasari yang dekat dengan kedua arca dwarapala menjadi menarik ketika dikaitkan dengan ajaran Saiwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam di puncak Kailasa dalam wujud lingga, batas Timur terdapat gerbang dengan Ganesha atau Ganapati sebagai penjaganya, gerbang Barat dijaga oleh Kala dan Amungkala, gerbang Selatan dijaga oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga oleh Batari Gori. Karena letak candi Singhasari yang sangat dekat dengan kedua arca tersebut yang terdapat pada jalan menuju ke gunung Arjuna, penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan gunung Arjuna dan para pertapa yang bersemayam di puncak gunung ini pada waktu itu.

Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas bujursangkar berukuran 14m×14m dan tinggi candi 15m. Candi ini kaya akan ornamen ukiran, arca, dan relief. Di dalam ruang utama terdapat lingga dan yoni. Terdapat pula bilik-bilik lain: di utara (dulu berisi arca Durga yang sudah hilang), timur yang dulu berisi arca Ganesha, serta sisi selatan yang berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya). Di komplek candi ini juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang ditempatkan di Museum Nasional, Jakarta. Arca-arca lain berada di Institut Tropika Kerajaan, Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.

Candi Singasari baru mendapat perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20 dalam keadaan berantakan. Restorasi dimulai tahun 1934 dan bentuk yang sekarang dicapai pada tahun 1936.

Candi Kidal

Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring.

Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa Timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan.

Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. Setelah selesai pemugaran kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh serta menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal sudah bagus setelah beberapa tahun rusak berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang bernuansa pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana.

Dari daftar buku pengunjung yang ada nampak bahwa Candi Kidal tidak sepopuler “teman”-nya candi Singosari, Jago, atau Jawi. Ini diduga karena Candi Kidal terletak jauh di pedesaan, tidak banyak diulas oleh pakar sejarah, dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata.

Namun demikian candi Kidal sesungguhnya memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi lainnya tersebut. Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian kecil.

Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan diatas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala Candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.

Di sekeliling candi terdapat sisa-sisa pondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an. Terdapat tangga masuk menuju kompleks candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit dipastikan apakah memang demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah sekeliling dengan dataran kompleks candi, nampak candi kompleks Kidal agak menjorok kedalam sekitar 1 meter dari permukaan sekarang ini. Apakah dataran candi merupakan permukaan tanah sesungguhnya akibat dari bencana alam seperti banjir atau gunung meletus tidak dapat diketahui dengan pasti.

Dirunut dari usianya, Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa Timur pasca Jawa Tengah (abad ke-5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (abad X M), Airlangga (abad XI M) dan Kediri (abad XII M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan (Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan petirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Candi Kagenengan yang menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan.

Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah, candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan) raja, sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb.

Dalam filosofi Jawa asli, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep "Dewa-Raja" yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki candi, seperti pada candi Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi, dan lain lain. Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan sebagai Siwa. Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih tersimpan di museum Leiden - Belanda diduga kuat berasal dari candi Kidal. Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief Garudeya? Apa hubungannya dengan Anusapati?.

Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak candi yang didirikan untuknya supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, namun selalu menderita selama hidupnya dan belum sepenuhnya menjadi wanita utama.

Dalam prasati Mula Malurung, dikisahkan bahwa Kendedes adalah putri Mpu Purwa dari pedepokan di daerah Kepanjen – Malang yang cantik jelita tiada tara. Kecantikan Ken Dedes begitu tersohor hingga akuwu Tunggul Ametung, terpaksa menggunakan kekerasan untuk dapat menjadikan dia sebagai istrinya prameswari. Setelah menjadi istri Tunggul Ametung, ternyata Ken Dedes juga menjadi penyebab kematian suaminya yang sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya.

Hal ini terjadi karena Ken Arok, yang secara tak sengaja ditaman Boboji kerajaan Tumapel melihat mengeluarkan sinar kemilau keluar dari aurat Kendedes. Setelah diberitahu oleh pendeta Lohgawe, bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar demikian adalah wanita ardanareswari, yakni wanita yang mampu melahirkan raja-raja besar di Jawa. Sesuai dengan ambisi Ken Arok maka diapun membunuh Tunggul Ametung serta memaksa kawin dengan Kendedes. Sementara itu setelah mengawini Kendedes, Ken Arok masih juga mengawini Ken Umang dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi istri keduanya dari pada Ken Dedes; Sehingga Ken Dedes diabaikan.

Berlandaskan uraian diatas, maka pemberian relief Garudeya pada candi Kidal oleh Anusapati bertujuan untuk meruwat ibunya Ken Dedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya. Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali sebagai wanita sempurna lepas dari penderitaan dan nestapa.

Candi Jago

Candi Jago berasal dari kata "Jajaghu", didirikan pada masa kerajaan Singhasari di abad ke-13. Berlokasi di kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, atau sekitar 22 km dari kota Malang, pada koordinat 8°0′22″S 112°45′49″E / -8.00611, 112.76361.

Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita setempat karena tersambar petir. Relief-relief Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di candi ini.

Candi Badut

Candi Badut terletak di kawasan Tidar, kota Malang. Dapat ditempuh dengan kendaraan umum jurusan Tidar. Candi ini diperkirakan berusia lebih dari 1400 tahun dan diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan sebagaimana yang termaktub dalam prasasti Dinoyo bertahun 760 Masehi.

Candi Gembirowati

Candi Gembirowati adalah reruntuhan candi yang berada di kalurahan Girijati, kecamatan Panggang, kabupaten Gunungkidul, DIY, yaitu di pesisir selatan dari pantai Parangtritis menuju ke arah kecamatan Panggang. Bagian dasar dari candi ini masih nampak kokoh, sedangkan bagian lengkapnya sudah tidak ada dan tidak dapat direkonstruksi lagi. Tahun pembuatan dari candi ini tidak dikenal dengan jelas, dan kemungkinan besar candi ini dipakai untuk pemujaan terhadap Nyai Loro Kidul, yaitu ratu pantai selatan Jawa.

Di dekat situs ini juga terdapat goa Cerme yang indah karena mempunyai bagian batu stalagtit dan stalagmit, sehingga banyak dikunjungi oleh wisatawan asing. Gua yang berada di desa Ploso, kalurahan Giritirto ini, memiliki sungai bawah tanah di dalam bagian dalam gua sepanjang 1,5 km. Selain gua Cerme, tidak jauh dari sini juga terdapat gua Suracala, yang banyak dikaitkan dengan sejarah dan legenda Sunan Amangkurat III.

Candi Dawangsari

Candi Dawangsari adalah candi Hindu-Buddha yang berada di sebelah utara dari candi Barong, yaitu di dusun Dawangsari, kalurahan Sambirejo, kecamatan Prambanan, kabupaten Sleman, Yogyakarta. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada saat pertama kali ditemukan, reruntuhan candi ini mempunyai beberapa stupa dan patung Ganesha sebagai perlambang akan pemujaan terhadap agama Hindu

Candi Miri

Candi Miri adalah candi Hindu yang berada tidak jauh dari Candi Banyunibo, candi Kalasan, dan Candi Barong, yaitu di dusun Dawangsari, kelurahan Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, tidak jauh dari bandara Adisucipto. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno.

Dalam reruntuhan candi yang belum sepenuhnya direnovasi ini, banyak terdapat tumpukan batu candi dan di antaranya dahulu ditemukan arca lembu Nandi, kendaraan dewa Siwa, berukuran 120 X 60 sentimeter dengan tinggi 60 sentimeter. Menurut informasi dari kantor SPSP (Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala), DIY, arca ini pernah diambil bagian kepalanya oleh orang tidak bertanggung jawab sebagai pengoleksi barang peninggalan purbakala.

Candi Abang

Candi Abang adalah candi Hindu yang berada tidak jauh dari Candi Banyunibo dan Candi Barong, yaitu di dusun CandiAbang, kelurahan Jogotirto, kecamatan Berbah, Sleman, Yogyakarta, tidak jauh dari bandara Adisucipto. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 dan ke-10 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi yang berbentuk seperti piramid ini dinamakan Candi Abang karena terbuat dari batubata yang berwarna merah (abang dalam bahasa Jawa), dan diperkirakan mempunyai umur yang lebih muda dari candi-candi Hindu lainnya.

Bentuk candi ini berupa segi empat dengan ukuran 36 m x 34 meter, sekarang banyak ditumbuhi rerumputan sehingga dari jauh nampak mirip seperti gundukan tanah atau bukit kecil. Pada waktu pertama kali ditemukan, dalam candi ini terdapat arca dan alas yoni lambang dewa Siwa berbentuk segidelapan (tidak berbentuk segi empat, seperti biasanya) dengan sisi berukuran 15 cm. Beberapa orang menganggap Candi Abang merupakan tempat penyimpanan harta karun pada zaman dahulu kala, oleh karena itu sering dirusak dan digali oleh orang tidak bertanggung jawab (pada bulan November 2002, misalnya) yang mencari harta peninggalan sejarah dan barang berharga

Candi Keblak

Candi Keblak adalah sebuah situs candi yang terletak di Dusun Marangam, Kelurahan Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Saat ini, keadaan candi ini telah mengalami kerusakan yang cukup parah, benda-benda cagar budaya yang tampak di permukaan pada situs Candi Keblak hanyalah berupa fragmen-fragmen candi yang keletakannya terpisah-pisah. Ada yang di belakang pekarangan penduduk, ada yang di pinggir saluran irigasi pertanian, dan sebagainya.

Salah satu artefak yang masih kelihatan utuh adalah sebuah lapik arca yang terletak di belakang rumah penduduk yang bernama Paimo (51). Lapik tersebut memiliki ukuran tinggi 85 cm, lebar bagian atas 118 Cm X 118 Cm sedang lebar bagian bawah adalah 120 Cm X 120 Cm. Pada permukaan lapik yang terbuat dari batu andesit ini terdapat hiasan berupa motif tanaman dan bunga yang distilir

Candi Watu Gudhig

Candi Watu Gudhig adalah nama sebuah candi yang dibangun pada sekitar abad ke-9, terletak sekitar 4 km sebelah barat daya Candi Prambanan. Tepatnya di pinggir sebelah timur sungai Opak atau sebelah barat jalan raya Prambanan dengan Piyungan (sebelah timur kota Yogyakarta). Nama Watu Gudhig adalah nama yang diberikan oleh penduduk setempat karena batu-batu candi (umpak batu) ditumbuhi lumut dan warnanya berbintik-bintik seperti penyakit kulit (gudhig). Masih belum diketahui pasti nama asli dari candi ini.

Candi Gampingan

Candi Gampingan adalah candi Buddha yang berada di dusun Gampingan, kelurahan Sitimulyo, kecamatan Piyungan, kabupaten Bantul, yaitu di sebelah selatan kota Yogyakarta. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada sekitar abad ke-8 dan ke-9 di saat zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada saat ditemukan pada tahun 1995 oleh pembuat batu bata, candi ini terpendam di bawah tanah. Walaupun sampai sekarang belum sepenuhnya selesai dipugar, kompleks reruntuhan candi ini mempunyai tujuh buah bangunan candi yang tidak utuh, dengan bangunan utama berukuran kira-kira 5 m x 5 m dan tinggi 1,2 meter.

Pada saat ditemukan, dalam candi ini terdapat tiga buah arca Dhyani Buddha Vairocana yang terbuat dari perunggu, dua buah arca Jambhala dan Candralokesvara dari batu andesit, benda-benda dari emas, dan beberapa benda-benda keramik. Pada bagian kaki dari candi Gampingan ini terdapat relief binatang katak dan unggas (burung pelatuk, burung gagak, dan ayam jantan). Dengan adanya arca Jambhala dan Dhyani Buddha Vairocana, maka diperkirakan candi Gampingan merupakan tempat pemujaan agama Buddha aliran Mahayana.

Candi Morangan

Candi Morangan adalah candi Hindu yang berada di dusun Morangan, kelurahan Sindumartani, kecamatan Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, dan berada sangat dekat dengan sungai Gendol (100 meter sebelah barat) dan paling utara mendekati gunung Merapi. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 dan ke-10 di saat zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu sezaman dengan pembuatan candi-candi Hindu, seperti Candi Prambanan, dan lain-lain.

Pada saat ditemukan pada tahun 1982, candi ini terpendam 6,5 meter di bawah tanah. Walaupun sampai sekarang belum sepenuhnya selesai dipugar, kompleks reruntuhan candi ini mempunyai 2 buah bangunan candi: candi induk dan candi perwara. Pada kompleks candi Morangan ini juga ditemukan arca yoni dan patung resi serta sejumlah arca lain di dalam relung-relung candi.

Candi Gebang

Candi Gebang adalah candi Hindu yang berada di dusun Gebang, kelurahan Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta. Karena berada dekat dengan kota (kira-kira 11 km di utara kota, menuju perumahan Candi Gebang dan Condong Catur), maka tempatnya sangat mudah untuk dicapai dengan menggunakan transportasi umum.

Candi yang pertama kali ditemukan pada tahun 1936 ini diperkirakan dibangun pada sekitar abad ke-10 pada saat wangsa Sanjaya berkuasa di zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi yang dipugar oleh Prof. Dr. Ir. van Romondt pada tahun 1937-1939 ini mempunyai ukuran kira-kira 5 meter x 5 meter dengan ketinggian 8 meter. Candi Gebang mempunyai puncak berbentuk lingga, dan pada relung sebelah barat dan timur terdapat arca Ganesa, Nandiswara dan yoni.

Candi Barong

Candi Barong yang mempunyai hiasan kala dan naga mirip seperti barong pada pintu masuknya adalah candi Hindu yang berada tidak jauh dari Candi Ratu Boko, yaitu di dusun Candisari, kelurahan Bokoharjo, Prambanan, Yogyakarta. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 dan ke-10 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno.

Kompleks candi ini berada di atas tanah berundak 3 dengan beberapa bangunan candi pada setiap terasnya. Pada teras tertinggi terdapat 2 buah candi untuk pemujaan dewa Wisnu dan dewi Sri sebagai lambang kesuburan. Masing-masing candi ini mempunyai ukuran kira-kira 8 meter x 8 meter dengan tinggi 9 meter

Candi Kedulan


Candi Kedulan adalah candi Hindu yang berada tidak jauh dari Candi Sambi Sari, yaitu di dusun Kedulan, kelurahan Tirtomartani, kecamatan Kalasan, Yogyakarta. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-8 dan ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno. Seperti halnya dengan candi Sambi Sari, candi ini terletak 3 sampai 7 meter di bawah tanah, kemungkinan besar karena tertimbun lahar dari gunung Merapi yang meletus secara besar-besaran pada awal abad ke-11 (kira-kira tahun 1006). Karena jenis tanah yang berada di sekitar candi terdiri dari 13 lapisan yang berbeda, maka kemungkinan besar bahwa candi ini tertimbun lahar dalam beberapa kali letusan (13 kali).

Jenis arsitektur dari candi ini terlihat mirip seperti gaya candi Sambi Sari dan candi Ijo. Candi yang mempunyai hiasan berupa relief mulut kala (raksasa) dengan taring bawah ini pertama kali ditemukan di tengah sawah pada tahun 1993 oleh para pencari pasir yang mengeduk pasir untuk bahan bangunan. Pada tahun 2003 di lokasi penggalian tersebut, ditemukan 2 buah prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta mengenai pembebasan pajak tanah di desa Pananggaran dan Parhyangan, untuk pembuatan bendungan dan irigasi, serta pendirian bangunan suci bernama Tiwaharyyan di zaman kerajaan Mataram Kuno.

Candi Ijo

Candi Ijo adalah candi Hindu yang berada tidak jauh dari Candi Ratu Boko atau kita-kira 18 km di sebelah timur kota Yogyakarta. Candi ini dibangun pada abad ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno, dan terletak pada ketinggian 410 meter di atas permukaan laut. Karena berada di atas bukit yang disebut Gumuk Ijo, maka pemandangan di sekitar candi sangat indah, terutama kalau melihat ke arah barat akan terlihat wilayah persawahan dan Bandara Adisucipto.

Candi ini merupakan kompleks 17 buah bangunan yang berada pada sebelas teras berundak. Pada bagian pintu masuk terdapat ukiran kala makara, berupa mulut raksasa (kala) yang berbadan naga (makara), seperti yang nampak pada pintu masuk Candi Borobudur. Dalam kompleks candi ini terdapat tiga candi perwara yang menunjukkan penghormatan masyarakat Hindu kepada Trimurti: Brahma, Wisnu, dan Syiwa.

Candi Sari

Candi Sari adalah candi Buddha yang berada tidak jauh dari Candi Sambi Sari, Candi Kalasan dan Candi Prambanan, yaitu di bagian sebelah timur laut dari kota Yogyakarta, dan tidak begitu jauh dari Bandara Adisucipto. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-8 dan ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno dengan bentuk yang sangat indah. Pada bagian atas candi ini terdapat 9 buah stupa seperti yang nampak pada stupa di Candi Borobudur, dan tersusun dalam 3 deretan sejajar.

Bentuk bangunan candi serta ukiran relief yang ada pada dinding candi sangat mirip dengan relief di Candi Plaosan. Beberapa ruangan bertingkat dua berada persis di bawah masing-masing stupa, dan diperkirakan dipakai untuk tempat meditasi bagi para pendeta Buddha (bhiksu) pada zaman dahulunya. Candi Sari di masa lampau merupakan suatu Vihara Buddha, dan dipakai sebagai tempat belajar dan berguru bagi para bhiksu

Candi Sambi Sari

Candi Sambi Sari adalah candi Hindu (Shiwa) yang berada kira-kira 12 km di sebelah timur kota Yogyakarta ke arah kota Solo atau kira-kira 4 km sebelum kompleks candi Prambanan. Candi ini dibangun pada abad ke 9 pada masa pemerintahan raja Rakai Garung di zaman kerajaan Mataram Kuno.

Posisi candi Sambi Sari terletak 6,5 meter di bawah tanah, kemungkinan besar karena tertimbun lahar dari gunung Merapi yang meletus secara besar-besaran pada awal abad 11 (circa tahun 1006). Hal ini terlihat dari banyaknya batu material volkanik di sekitar candi.

Dengan dikelilingi oleh tembok candi yang asli dengan ukuran 50 m x 48 m, kompleks ini mempunyai candi utama didampingi oleh 3 candi perwara (lebih kecil). Di dalam candi ini terdapat patung Durga (di sebelah utara), patung Ganesha (sebelah timur), patung Agastya (sebelah selatan), dan di sebelah barat terdapat 2 patung dewa penjaga pintu: Mahakala dan Nadisywara. Di dalam candi utama terdapat patung Lingga dan Yoni dengan ukuran cukup besar. Pada saat penggalian, benda-benda bersejarah, di antaranya beberapa tembikar, perhiasan, cermin logam serta prasasti lempengan emas juga ditemukan.

Candi ini ditemukan pada tahun 1966 oleh seorang petani di desa Sambi Sari yang diabadikan menjadi nama candi tersebut, dan dipugar pada tahun 1986 oleh Dinas Purbakala.

Candi Ratu Boko

Candi Ratu Boko adalah situs purbakala yang merupakan komplek sejumlah sisa bangunan yang berada kira-kira 3 km di sebelah selatan dari komplek Candi Prambanan, 18km sebelah timur Kota Yogyakarta atau 50km barat daya Kota Surakarta. Luas keseluruhan komplek adalah sekitar 25ha.

Situs ini diperkirakan sudah dipergunakan orang pada abad ke-8 pada masa Wangsa Sailendra (Rakai Panangkaran) dari Kerajaan Medang (Mataram Hindu). Dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan, diduga kuat situs ini merupakan bekas keraton (istana raja).

Nama "Ratu Boko" sendiri didasarkan dari legenda masyarakat setempat. Ratu Boko (harafiah berarti "raja bangau") adalah ayah dari Loro Jonggrang (yang diberikan menjadi nama candi utama pada komplek Candi Prambanan).

Secara administratif, candi ini berada di wilayah Kecamatan Bokoharjo, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Terletak pada ketinggian hampir 200 m di atas permukaan laut.

Situs Ratu Boko pertama kali dilaporkan oleh Van Boeckholzt pada tahun 1790, yang menyatakan terdapat reruntuhan kepurbakalaan di atas bukit Ratu Boko. Bukit ini sendiri merupakan cabang dari sistem Pegunungan Sewu, yang membentang dari selatan Yogyakarta hingga daerah Tulungagung. Seratus tahun kemudian baru dilakukan penelitian yang dipimpin oleh FDK Bosch, yang dilaporkan dalam Keraton van Ratoe Boko. Dari sinilah disimpulkan bahwa reruntuhan itu merupakan sisa-sisa keraton.

Prasasti yang dikeluarkan oleh Rakai Panangkaran (746-784M) menyebut suatu kawasan wihara di atas bukit yang dinamakan Abhyagiri Wihara ("wihara di bukit yang damai"). Tampaknya, komplek itu kemudian diubah menjadi keraton bagi raja bawahan (vazal) yang bernama Rakai Walaing Pu Kumbayoni.

Di dalam kompleks ini terdapat bekas gapura, ruang Paseban, kolam, Pendopo, Pringgitan, keputren, dan dua ceruk gua untuk bermeditasi.

Pemerintah pusat sekarang memasukkan komplek Situs Ratu Boko ke dalam otorita khusus, bersama-sama dengan pengelolaan Candi Borobudur dan Candi Prambanan ke dalam satu BUMN, setelah kedua candi terakhir ini dimasukkan dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO. Sebagai konsekuensinya, Situs Ratu Boko ditata ulang pada beberapa tempat untuk dapat dijadikan tempat pendidikan dan kegiatan budaya.

Terdapat bangunan tambahan di muka gapura, yaitu restauran dan ruang terbuka (Plaza Andrawina) yang dapat dipakai untuk kegiatan pertemun dengan kapasitas sekitar 500 orang, dengan vista ke arah utara (kecamatan Prambanan dan Gunung Merapi). Selain itu, pengelola menyediakan tempat perkemahan dan trekking, paket edukatif arkeologi, serta pemandu wisata.

 

Candi Banyunibo

Candi Banyunibo yang berarti air jatuh-menetes (dalam bahasa Jawa) adalah candi Buddha yang berada tidak jauh dari Candi Ratu Boko, yaitu di bagian sebelah timur dari kota Yogyakarta ke arah kota Wonosari. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada bagian atas candi ini terdapat sebuah stupa yang merupakan ciri khas agama Buddha.

Keadaan dari candi ini terlihat masih cukup kokoh dan utuh dengan ukiran relief kala-makara dan bentuk relief lainnya yang masih nampak sangat jelas. Candi yang mempunyai bagian ruangan tengah ini pertama kali ditemukan dan diperbaiki kembali pada tahun 1940-an, dan sekarang berada di tengah wilayah persawahan.

Candi Kalasan

Candi Kalasan atau Candi Tara dibangun sekitar akhir abad ke 8 M atau awal abad ke 9 M diatas bangunan candi kuno. Sebuah prasasti kuno yang dibuat pada tahun 778 M atas perintah Raka i Panangkaran dan ditemukan tidak jauh dari candi dan memberikan penjelasan bahwa candi dibangun untuk menghormati Bodhisattva wanita, Tara. Pada awalnya, hanya ditemukan satu candi pada situs yaitu candi Kalasan, tetapi setelah digali lebih dalam maka ditemukan lebih banyak lagi bangunan bangunan pendukung di sekitar candi. Candi ini memiliki tinggi 6 meter dan 52 stupa

Prasasti ini juga menyatakan bahwan candi ini dibuat oleh dua raja secara bersama-sama yaitu raja dari Wangsa Syailendra dan raja dari Mataram Hindu yang tidak diketahui namanya di jaman Wangsa Syailendra.

Candi yang berada kira-kira 2 km di sebelah barat dari candi Prambanan, yaitu di sisi jalan raya antara Yogyakarta dan Solo ini dikategorikan sebagai candi umat Buddha. Meskipun belum diketahui dewa apa yang dijadikan simbol sebagai patung di ruang utama candi, tetapi patung ini mempunyai tinggi lebih dari 6 meter dan terbuat dari perunggu.

Selain candi Kalasan dan bangunan - bangunan pendukung lainnya ada juga tiga buah candi kecil di luar bangunan candi utama, berbentuk stupa.

 

Template by : Dirrga Blogspot